HP. 0856-0196-7147

PENCARIAN

Kamis, 08 Desember 2011

HK 203 : FUNGSI DACTYLOSCOPY BAGI PENYIDIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA



 

BAB  I
PENDAHULUAN

A.   Latar Bclakang Masalah
Hukum adalah gabungan dari peraturan-peraturan yang hidup dan bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
Pada hakikatnya, "Kejahatan itu sebenamya merupakan gejala sosial yang cukup melelahkan dikalangan masyarakat bila tidak ditanggulangi dengan serius akan menimbulkan dampak yang merugikan terhadap ketentraman dan rasa tidak nyaman akan selalu menghantui setiap warga. Kejahatan juga menunjuk kepada tingkah laku yang bertentangan dengan Undang-Undang, baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda, fisik, bahkan kematian seseorang".[1]

Penegakan hukum merupakan proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai pada pembuatan hukum yang terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi dan perekonomian dewasa ini. Hal ini menuntut peran masyarakat dalam berinteraksi sosial semakin memngkat, oleh karena itu tentunya aktivitas-aktivitas yang ada menjadi beragam, bahkan memancing adanya tindak kriminalitas yang terjadi di setiap harinya. Peran penegak hukumjelas-jelas tidak akan bisa lepas dari hal ini, sehingga menuntut diciptakaimya berbagai macam peraturan untuk dapat menciptakan ketertiban di dalam masyarakat.
"Secara konseptual hukum pidana merupakan ultimum remedium (the last resort - sarana pamungkas) dalam penggunaannya sebagai sarana penanggulangan problema sosial berupa kejahatan. Kejahatan sebagai salah satu konsep dan kategori perilaku manusia merupakan salah satu tema sentral di dalam hukum pidana. Posisi hukum pidana di pandang sebagai subsider, yang membawa konsekuensi bahwa pemerintah seharusnya mendahulukan penggunaan sarana hukum lain selain pidana".[2]

Dengan kata lain sebelum pemerintah memberlakukan hukum pidana dalam menyelesaikan suatu problem yang terjadi dalam masyarakat, sebaiknya menggunakan hukum lain terlebih dahulu seperti hukum perdata dan hukum admmistrasi, apabila hukum-hukum tersebut tidak mampu, barulah hukum pidana diberlakukan. Jadi di sini berkaitan dengan langkah-langkah kriminalisasi.
Dalam pelaksanaan hukum pidana, faktor perkembangan masyarakat dapat digunakan untuk mendatangkan keputusan hukum yang dapat memberikan keputusan yang adil dan kebenaran sejati pada semua pihak.
Mencari kebenaran atas semua peristiwa yang disebabkan oleh perbuatan manusia itu adalah sulit dan tidak mudah karena dalam suatu peristiwa sering terjadi adanya kekurangan, dan tidak lengkapnya suatu alat bukti maupun saksi, sehingga para petugas penyidik harus bekerja lebih keras dalam mengumpulkan bukti-bukti yang sah untuk mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dalam mengusut atau menyelidiki suatu tindak pidana yang sebenamya. Dalam pembuktian acara pidana setidak-tidaknya harus terdapat dua alat bukti yang sah sebagai dasar rnenjatuhkan pidana bagi terdakwa (Pasal 183 KUHAP).
Menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah:
1.    Keterangan saksi;
2.    Keterangan ahli;
3.    Surat;
4.    Petunjuk;
5.    Keterangan terdakwa.[3]
Alat bukti tersebut merupakan suatu alat untuk membuktikan, suatu upaya untuk dapat menyelesaikan hukum tentang kebenaran dalil-dalil dalam suatu perkara yang pada hakikatnya harus dipertimbangkan secara logis. Dalam contoh kasus tindak pidana seperti pencurian, penggelapan, penipuan dan sejenisnya, petugas penyidik menggunakan beberapa metode pencarian barang bukti; salah satunya adalah melalui Dactyloscopy (ilmu tentang sidik jari) yaitu suatu hasil reproduksi tapak-tapak jari, yang menempel pada barang-barang di sekitar tempat kejadian perkara (TKP).
Kata Dactyloscopy berasal dari bahasa Yunani; Dactylos yang berarti jari dan Scopium yang berarti melihat, meneliti, mempelajari. Pertama kali di kembangkan oleh Francis Galton, yang pada tahun 1888 mengadakan kerjasama dangan Sir William Herschell melakukan penyelidikan secara ilmiah mengenai pola-pola garis-garis jari dan menyusun satu sistem untuk membagi-bagi dan mengenai jenis orang.
"Diperlihatkan, bahwa sidik jari itu lebih dari sifat ilmu urai (morphologie) dan dikemukakannya empat hal terpenting untuk dapat menegaskan identitas seseorang: tetap, tegas, berbagai ragam dan mudah untuk mendaftar dan menyusun"[4]
Pembuktian dengan menggunakan metode Dactyloscopy memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh metode lain, salah satunya adalah bahwa sidik jari seseorang bersifat permanen, tidak berubah selama hidupnya, gambar garis papilernya tidak akan berubah kecuali besarnya saja, selain itu juga memiliki tingkat akurasi paling tinggi di antara metode lain, maka baik pelaku, saksi, maupun korban tidak dapat mengelak. Tidak seperti metode yang menggunakan keterangan saksi yang bisa saja pelaku, saksi maupun korban dapat berbohong atau memberikan keterangan palsu kepada penyidik dalam mengungkap tindak pidana.
"Pemakaian sidik jari untuk identifikasi telah berkembang di seluruh dunia, terutama di negara-negara maju. Keringat yang terdapat ditelapak dan jari-jari akan menimbulkan jejak pada objek yang dipegang atau disentuh. Berkaitan dengan itu maka Dactyloscopy atau ilmu tentang sidik jari telah mendesak metode identifikasi lainnya karena sangat praktis dan akurat"3[5]

Pengetahuan tentang sidik jari latent bagi masyarakat umum masih terbilang asing dan belum banyak orang yang mengetahui tentang kegunaan dan sidik jari dalam mengungkap suatu tindak pidana bukanlah suatu hal yang berlebihan, karena dapat kita lihat bahwa dalam kenyataannya proses pengungkapan kasus di negeri ini belumlah terbiasa menjadikan sidik jari latent sebagai alat bukti yang diharuskan kehadirannya pada proses persidangan, di lain sisi kejahatan terus-menerus berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat dan tekhnologi yang membuat para pelaku kejahatan semakin lihai dalam memutar balikkan kebenaran yang ada dan membuat bingung para penegak hukum.
Pelaku kejahatan berusaha:
1.    Hindari orang yang melihat,
2.    Hilangkan barang-bukti,
3.    Usaha lain untuk tidak diketahui orang lain[6].
Maka dari itu kita sebagai masyarakat pada umumnya dan para penegak hukum khususnya dirasa perlu mempelajari setidaknya mengetahui tentang ilmu sidik jari dan turut bekerja sama dan berperan aktif dalam rangka penanggulangan tindak pidana yang terjadi dewasa ini. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul: "FUNGSI DACTYLOSCOPY BAGI PENYIDIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA"

B.   Pembatasan Masalah
Untuk lebih memfokuskan pembahasan dalam suatu penelitian diperlukan pembatasan masalah, dengan adanya pembatasan masalah pembahasan tidak akan meluas. Pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1.    Pembahasan dikhususkan pada tindak pidana kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2.    Tindak pidana yang dibahas adalah tindak pidana kejahatan yang memerlukan alat bukti sidik jari.
3.    Pemeriksaan sidik jari dilakukan terhadap pelaku atau korban tindak pidana.

C.   Perumusan Masalah
Agar tercapainya tujuan penelitian maka terlebih dahulu harus dilakukan identifikasi terhadap permasalahan yang diteliti dan dibahas.
Sesuai latar belakang masalah dan pembatasan masalah diatas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana fungsi Dactyloscopy (ilmu tentang sidik jari) bagi penyidik dalam mengungkap tindak pidana?
2.    Hambatan-hambatan apa yang dihadapi penyidik dalam mengungkap tindak pidana dengan menggunakan ilmu Dactyloscopy?
.................................


[1] Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung, 1992, hal 5
[2] Natangsa Surbakti, Kembang Setaman Kajian Filsafat Hukum, Surakarta, UMS, hal. 80
[3] Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Aneka Ilmu, Semarang, 1984, hal. 82
[4] Karjadi M, Sidik Jari Sistem Henry Sistem Baru Yang Diperluas, Politeia, Bogor, 1976. Hal 1
[5] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana. Sapta Arthajaya, Jakarta, 1984, hal. 13
[6] Materi Rakernis Sie Iden Dit Reskrim, 11 Agustus 2003, hal. 3







DAFTAR PUSTAKA
  
Arikunlo. Suharsimi, 1989, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Bina Aksara, Jakarta.
Atmasasmita, Romli, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung.
Chazawi, Adam, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Radja Giafindo Persada, Jakarta.
Hadi, Sutrisno, 1989, Metodologi research I, Audi Offset, Surabaya.
Hainzah, Audi, 1984, Huhum Acara Pidana, Sapilia Artha Jaya, Jakarta.
I Ketut, Murtika, 1992, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka Cipta, Jakarta.
Lamintang, 1982, Dasar-Dasar Pidana Indonesia, Cetakan I, Sinar Baru, Bandung.
M Karjadi, 1976, Sidik Jari Sistem Henry, Sistem Baru Yang Diperluas, Politeia, Bogor.
Moelyatno, 1982, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta
Prakoso, Djoko, 1988, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidana, Yogyakarta.
Prodjodikoro, Wirjono, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung.
Purnomo, Bambang, 1982, Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soekamto, Soerjono, 1990, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
Soesilo R, 1976, Kriminalistik (llmu Penyidikan Kejahatan), Politeia, Bogor.
Surbakti, Natangsa, Kembang, Setaman, Kajian Filsafat Hukum, Surakarta, UMS.
Sudarto, 1980, Hukum Pidana Jilid 1A, Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas
Hukum UNDIP Semarang.
Utrecht, 1986, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.
Yudhana, I.N., 1993, Penuntun Dactyloscopy, Pusat Identifikasi, Jakarta.
____________,1984, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Anela llmu, Semarang.
____________, 2003, Materi Rakernis Sie Ident  Dit ResKrim, Semarang.
____________, 1981, Tindakan dan Penyidikan Pertama Ditempat Kejadian Perkara, Politeia, Bogor
____________, 2003, ­Undang-Undang No. 2 Tahun  2002, Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Fokus Media, Bandung.




Untuk mendapatkan file lengkap hubungi HP. 085 725 363 887





Tidak ada komentar:

Posting Komentar