BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu dan kemajuan teknologi memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas agar mampu bersaing dengan bangsa lain. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia merupakan tujuan setiap bangsa dalam menghadapi tantangan kemajuan zaman. Peningkatan mutu pendidikan menjadi salh satu factor yang sangat penting kaitannya dengan upaya meningkatkan sumber daya manusia. Pendidikan merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang menjadi satu kesatuan fungsional yang saling berinteraksi, bergantung, dan berguna untuk mencapai tujuan. Komponen itu adalah tujuan pendidikan, pendidik, anak didik, lingkungan pendidikan dan alat pendidikan. Kelima komponen pendidikan tersebut, akan terimplementasikan dalam proses pembelajaran, yaitu aktivitas belajar mengajar. Seseorang dikatakan telah belajar apabila dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku dari tidak tahu menjadi tahu yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Sekolah dasar sebagai penggal tertama pendidikan, seyogiyanya dapat memberikan landasan yang kuat untuk tingkat selanjutnya. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menyatakan sebagai berikut.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakal mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dengan demikian sekolah dasar harus memberikan bekal kemampuan dan keterampilan dasar strategis sejak kelas-kelas awal. Upaya meningkatkan mutu pendidikan dasar ini tidak dapat ditunda-tunda lagi terutama dalam peningkatan mutu proses pembelajaran Sekolah Dasar di era globalisasi. Hal ini sesuai dengan fungsi pendidikan dasar yang tidak lagi semata-mata berfungsi sebagai sarana sosialisasi anak didik, melainkan sejak dini sudah harus menumbuhkan secara potensial menusia Indonesia yang kelak mampu menjadi agen pembaharuan. Fungsi Sekolah Dasar tidak semata-mata menjadikan keluarannya melek huruf dalam arti melek teknologi dan melek pikir.
Sesuai dengan tujuan pendidikan, maka tujuan pembelajaran di sekolah dasar menginginkan agar siswanya memiliki pengetahuan, pemahaman, keterampilan, serta sikap dan nilai yang sesuai dengan tujuan pendidikan secara menyeluruh mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Untuk memenuhi tuntutan tersebut guru perlu memahami tugas dan tanggung jawabnya. Menurut Amstrong (Nana Sudjana 2002:15) dinyatakan bahwa guru mempunyai lima tanggung jawab, yaitu: 1) dalam proses pembelajaran, 2) dalam memberikan bimbingan siswa, 3) dalam mengembangkan kurikulum, 4) dalam mengembangkan profesi, dan 5) membina hubungan dengan masyarakat. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di sekolah dasar bertujuan agar siswa mampu meningkatkan kesadaran akan tugas harian, kebanggaan nasional dan kebebasan serta kekuatan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, memahami konsep IPA beserta kaitan ya dan melalui IPA siswa diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan, serta sikap dan nilai yang ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah mengenai alam sekitar.
Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan model pembelajaran yang di dalamnya siswa bekerja dalm kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lain dalam belajar dan dihargai atas prestasi kolektif mereka (Slavin 1995:2; Cruickshank, Bainer, dan Metcalf, 1995:205). Pembelajaran kooperatif bukan merupakan hal baru dalam pendidikan. Banyak metode pembelajaran kooperatif yang telah dikembangkan oleh para pakar. Sebagai contoh adalah metode Student Team-Learning yang terdiri atas STAD (Student Teams Achivement Divasions), TGT (Teams-Games-Tournament), Jigsaw II, LT (Learning Together), GI (Group Investigations) (Slavin 1995:7-8); TAI (Team-Assisted-Individualization) dan Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) (Slavin 1997:285-286); serta Structural Approach yang dikembangkan oleh Spencer Kagan.
Guru seharusnya bisa menumbuhkan semangat untuk belajar didalam kelas. Terjadinya komunikasi yang intensif antara siswa dengan guru akan meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah yang berupa guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan dan hal-hal lainnya dapat dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi berprestasi, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik.
Dalam proses pembelajaran IPA yang diterapkan di sekolah dasar siswa cenderung hanya mendengarkan penjelasan dari gurunya yang harus dihafalkan, sehingga siswa menjadi malas dan bosan. Kondisi yang demikian membosankan dalam diri siswa pada akhirnya akan menyebabkan motivasi berprestasi rendah dan mempengaruhi kompetensi belajar menjadi rendah. Untuk menciptakan suasana agar siswa lebih aktif belajar diperlukan kemauan dan kemampuan guru dalam mengambil keputusan yang tepat dengan situasi belajar yang diciptakan dan mempertimbangkan kondisi pengajaran yang diprediksi dapat mempengaruhi pencapaian kompetensi belajar. Selain itu diupayakan suatu metode yang mengarah pada pengembangan berfikir logis, sikap yang kritis dan kepekaan siswa terhadap lingkungan sendiri sampai terluas.
Untuk mendesain kegiatan pembelajaran yang dapat merangsang hasil belajar yang efektif dan efisien dalam setiap materi pelajaran memerlukan metode penyampaian yang tepat dan pengorganisasian materi yang tepat. Metode pembelajaran hendaknya berprinsif pada belajar aktif sehingga dalam proses belajar dan perhatian pembelajaran utama ditujukan kepada siswa yang belajar, oleh karena itu guru harus dapat menggunakan berbagai macam metode dan pengorganisasian materi dengan tepat. Metode pembelajaran yang mendorong siswa aktif dalam proses pembelajaran adalah metode pembelajaran jigsaw, discovery, inquiry, eksperimen, dan brainstorming. Metode yang diharapkan agar siswa mampu menemukan dan memahami konsep atau prinsip secara cooperative learning adalah metode pembelajaran Jigsaw. Seperti pemikiran di atas maka pengajaran di dalam kelas juga memiliki aspek yang sama, berdasarkan prinsip saling ketergantungan. Setiap siswa mempunyai kemampuan serta cara berfikir sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pendekatan jigsaw dikembangkan untuk memberikan satu cara untuk membuat kelas sebagai suatu komunitas belajar yang saling menghargai terhadap kemampuan masing-masing siswa.
Sejalan dengan itu metode Jigsaw di sekolah dasar kiranya merupakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan siswa, sehingga dapat mengoptimalkan kemampuan, penalaran, dan keterampilannya untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA. Selain itu berdasarkan pengamatan dan pengalaman peneliti sendiri selama ini proses pembelajaran IPA di sekolah dasar jarang/belum menggunakan metode Jigsaw. Hasil belajar/kompetensi belajar merupakan hasil dari suatu usaha kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan sejumlah pengetahuan dan pengalaman yang dipelajari. Hasil belajar dalam proses belajar dan pembelajaran dapat dipandang sebagai barometer keberhasilan siswa dalam mengikuti pelajaran tertentu maupun sebagai ukuran keberhasilan guru dalam melaksanakan proses belajar pembelajaran. Hasil belajar meliputi kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Gagne (Nana Sudjana 2002:45-46) mengemukakan lima kategori tipe hasil belajar yakni: 1) verbal information, 2) intelektual skill, 3) cognitive, 4) attitude, 5) motor skill.
Pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran IPA yang belum sesuai dengan salah satu diantaranya adalah metode yang dipilih oleh guru dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran diupayakan pada kegiatan belajar yang bermakna melalui strategi pengajaran, diskusi, bekerja kelompok, dan memecahkan masalah serta menyimpulkannya. Berangkat dari latar belakang masalah, maka penelitian ini diajukan judul “Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Learning dengan Metode Pembelajaran Jigsaw dalam Meningkatkan Penguasaan Ilmu Pengetahuan Alam Konsep Organ Tubuh Manusia dan Hewan Pada Siswa Kelas V di Sekolah Dasar Negeri Kemasan 1 Serengan Surakarta”.
B. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. “Apakah dengan penerapan metode Jigsaw dapat meningkatkan kompetensi belajar khususnya dalam penguasaan konsep IPA ?”
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui sejauhmana penerapan metode Jigsaw dapat meningkatkan kompetensi belajar IPA khususnya dalam penguasaan konsep organ tubuh manusia dan hewan.
DAFTAR PUSTAKA
Arends. 2001. Learning to Teach. 5 Edition. Singapore : Mc Grow-Hill.
Aronson. 2000. Histori of the Jigsaw. www.Jigsaw.org. Diperoleh pada tanggal 3 September 2005.
Brophy. 1998. Motivating Students to Learn. Toronto: McGraw-Hill.
Candler. 1995. Cooperating Learning and Hands-On Sciene. San Juan Capistrano, Clifornia: Kagan Cooperative Learning.
Cruickshank. Donald R. Bainer. Deborah L. dan Metcalf. Kim K. 1995. The Act of Teaching: Second Edition. Boston: Mc Grow-Hill College.
Dahlan. 1992. Manajemen Pembelajaran Modern. Jakarta : Gramedia.
Depdiknas. 200. Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk SD dan MI. Jakarta : Depdiknas.
Dimyati. 1990. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Johnson and Johnson. 1994. An Overview of Cooparetive Learning. http://www.co-operation.org/pages/overviewpaper.html. Diperoleh pada tanggal 16 Maret 2006.
Kagan. 1985. Dimension of Cooperative Classroom Structure. Learning to Cooperative, Cooperate to Learn: 67-102. London: Planum Press.
Maltby. 1995. Educational Psychology: An Australian and New Zealand Perspective. Sidney: John Willey & Sons.
Manning and Lucking. 1992. The What, Why and How of Cooperative Learning. (Marcia K. Pearlshall. Relevant Research). (69-75). Washington:TNSTA.
Mc. Niff. 1992. Management of Learning. Sidney: John Willey & Sons.
Mulyasa. 2006. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Purwaningsih E. 2004. Efektifitas Model Pembelajaran Jigsaw dan Peta Konsep terhadap Prestasi Belajara Fisika dalam Materi Interferensi Cahaya pada Lapisan Tipis ditinjau dari Minat dan Intelegensi Siswa. Surakarta: Program Studi Pendidikan Sains. Program Pascasarjana UNS.
Roland. 1997. Benefits of Collaborative Learning. http:// www.fsu.wou.edu. Diperoleh pada tanggal 3 September 2005.
Salvin. 1995. An Introduction to Cooperative Learning Research. London: Plenum Press.
Soemanto. W. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Soeparman. A. 1993. Disain Intruksional, Jakarta : PAU – UT.
Sudjana. N. 2002. Dasa-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Sinar Baru Algensindo.
Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS.
Towns. 1998. How Do I Get My Students to Work Together ? : Getting Cooperative Learning Started. Journal of Chemical Education (JCE) 75 (1):67-69.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Depdiknas.
Walf. 1995. Prosedure Cooperative Learning. Sidney: John Willey & Sons.
Untuk mendapatkan file lengkap hubungi/ sms ke HP. 0856-0196-7147
Tidak ada komentar:
Posting Komentar